Saat ini perkembangan teknologi cetak begitu pesatnya. Banyak bermunculan metoda dan teknologi baru guna memenuhi kebutuhan produksi desain. Hal ini mengkondisikan kita untuk terus aktif mengikuti perkembangan guna terus mendukung upaya inovasi.
Berpijak pada hal tsb, Program Studi DKV UNIKOM menggelar studium generale (kuliah umum) dan workshop bertajuk "Cetak Digital vs Konvesional". Lewat acara ini diharapkan para peserta yang terdiri dari para dosen, mahasiswa DKV dan khalayak umum ini mendapat pengetahuan mengenai dinamika perkembangan dunia cetak saat ini melalui komparasi antar teknologi cetak digital dengan konvensional.
Berapakah umur anda sekarang..17, 20, 24, 30 tahun? Sudah sejauh apakah kita melangkah? Berapa banyakkah pengalaman baik & buruk yang telah kita lalui? Lewat itu semua, hal apa sajakah yang sudah kita pelajari di dunia ini, sejauh ini?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba diungkapkan Stefan Sagmeister dalam sebuah project (lagi-lagi) eksperimentalnya yang bertitle : Things I have learned in my life so far. Project yang idenya di dapat dari buku hariannya.
Lewat projet ini, Sagmeister "mendokumentasikan" beberapa hal yang telah dipelajari dalam hidupnya dalam beberapa karya desain, instalasi, fotografi dsb dan dalam medium yang luas seperti billboard dsb. Project ini juga ia buka untuk umum yang ingin berpartisipasi. Semuanya ia presentasikan dan dokumentasikan dalam sebuah buku yang bercover wajahnya.
Program Studi Desain Komunikasi Visual, UNIKOM Bandung
Peserta adalah mahasiswa aktif di Program Studi Desain Komunikasi Visual UNIKOM. Pameran ini merupakan syarat mutlak kelulusan mata kuliah TIPOGRAFI (dosen : Dodi Nursaiman,S.Ds. | Wantoro,S.Ds.| Ahmad Nurcholis,S.Ds.| Iman Sumargono,S.Sn | Erwin Alfian,M.Ds. |Endang Susilastuti,S.Sn. | Amata Fami,S.Sn.)dan Komputer Aplikasi DKV III (dosen : Dodi Nursaiman,S.Ds. | Wantoro,S.Ds.)
Karya Paling Lambat sudah diterima oleh dosen masing - masing pada tanggal 9 Januari 2009disertai dengan fotocopy sketsa (proses studi karya) dan soft copy dalam format CorelDraw / Adobe Illustrator (untuk karya Tipografi) Adobe InDesign (untuk karya Majalah)
Masa libur akhir tahun 2008 ini banyak saya habiskan untuk berhibernasi di kamar saja.. Mendalami beberapa hal diluar desain, itu judulnya! Sembari “mengunyah” ratusan halaman literasi dari beberapa buku baru & tabungan halaman web/blog desainer yang tak sempat terbaca selama ini. Didasari oleh sebuah artikel yang dibuat teman saya diblognya (dengan judul yang sama) ditambah petikan gitar Eddie Vedder & teriakan maskulin-nya Bryan Adams membuat saya terinspirasi untuk membuat sebuah karya. Cliing, maka jadilah ini…
Karya diatas mendeskripsikan bahwa siapapun kita, pada dasarnya lewat aktifitas2 sederhana harian, telah dan sering menerapkan pola desain didalamnya. Lewat pemilihan warna cat yang cocok untuk pagar dan tembok rumah kita sewaktu akan lebaran, pengkomposisian letak tempat tidur dan barang2 dikamar kontrakan kita yang sempit, pemilihan baju & rok saat ibu kita akan kondangan dsb adalah aktifitas2 yang pada dasarnya juga terjadi pada eksekusi desain.
Yang membedakannya, mungkin hanya wacana profesi saja. Makanya, desain diatas mencoba mengangkat hal tsb. Saya menampilkan Nevile Broody, David Carson, Tibor Kalman dkk sebagai representasi desainer "mapan" yang selama ini kita anggap sebagai simbol kehebatan seorang desainer. Sultan Hamid II & Fatmawati Soekarno sebagai representasi dari hal lain yang tak boleh dilupakan. Mereka berdua adalah kreator (baca juga : desainer nasionalis) lambang negara kita Garuda Pancasila & bendera Merah Putih. Terus, siapa Ujang, Rodiah & Pi'i?..hehe, ya mereka itu adalah representasi dari "orang-orang biasa" disekitar kita yang juga menerapkan pola pikir desain dalam prilaku keseharian nya. (Boleh diganti koq namanya sama nama tetangga, saudara atau kecengan anda..hehe). Orang-orang itulah yang mengkombinasikan warna cat rumahnya, menata kamar kontrakan juga memilih baju kondangannya. Mereka juga Desainer!! sama seperti kita..hanya mungkin dalam konteks yang berbeda. Jadi kalo dari dulu kita punya paradigma bahwa desainer adalah yang sekolah di DKV, Interior, Seni Rupa atau sebagainya, mulai sekarang ubahlah dalam konteks yang lebih luas! Setuju?
PS ; Art (visual) direction diatas mengadaptasi desain poster yang dibuat oleh Pentagram. Pop, witty dan typography driven. Sempat saya iseng postingkan juga disini lho!
Bulan lalu, seorang teman yang juga desainer (Hendro W) mengajak saya untuk menggarap desain kartu undangan pernikahannya. Wah, tetu saya sangat responsive sekali. Hitung2 latihan kalo someday saya mo buat undangan nikahan saya..hehe. Setelah beberapa kali melakukan diskusi kecil beserta jelajah referensi visual yang membuat kami “kehujanan ide”, akhirnya kami menentukan satu arahan desain yang dirasa paling representative. Satu arahan yang kami beri title SIR/ROS = Simple is Romantique/Romantique is Simple. Hehe.. (Lagi2, konsep dijadikan sebagai sebuah kamuflase/tameng agar sesuatu yang kita buat jadi benar & elegan. Shit!!)
Arahan desainnya sendiri merupakan penggabungan dari gaya visual Victorian dan komik2 ala Frank Miller (creator film/komik “Sin City”). Hehe..Sedangkan saya mengusulkan agar ada semacam ID (logo) yang dibuat agar kesan Victorian-nya jadi semakin kuat. Walhasil sketsa logonya pun mengarah ke gaya Heraldik gitu. Check geura…
Rabu (17 Des), bertempat di sebuah restoran sunda di kawasan Gasibu Bandung, penerbit Mizan mengadakan temu desainer & illustrator yang selama ini berkontribusi. Acara yang dihadiri sekitar 40 orang ini dibalut dalam tema yang bertajuk “Growing Ideas”.
Pembicara acara ini adalah Priyanto Sunarto (kartunis & dosen ITB), Andreas Kusumahadi (desainer Mizan Grup), Andi YA dan performance dari Pidi Baiq (Ex- Vokalis Panas Dalam, penulis “Drunken Monster” & desainer). Sesi awal acara ini sedikit membosakan buat saya. Karena layaknya kuliah tentang bagaimana caraya beride. Sedikit kurang tepat karena disampaikan dihadapan pada desainer & illustrator yang sebenernya rata-rata sudah melanglangbuana. Kalau misalnya penerbit merasa urgent terhadap inovasi pada cover2 buku mereka, seharusnya pembahasan yang disampaikan bisa jauh lebih spesifik tentang masalahatau isu yang terjadi mengenai cover buku saat ini. Begitu menurut saya.. :)
Meski terkesan lebih serius & akademis, materi dari sesi Pak Priyanto, membuat saya sedikit sumringah. Tentang Bahasa Rupa pada cover buku. Andreas Kusumahadi yang tampil belakangan juga banyak memberikan insight mengenai tataran teknis bagaimana persiapan yang harus dilakukan sebelum mendesain cover buku.
Yang paling menarik bagi saya mungkin adalah kesempatan bisa berdiskusi lebih intens & informal dengan para editor yang selama ini berkontribusi besar terhadap arahan desain. Termasuk kesempatan saya untuk melontarkan “unek-unek” mengenai alur approval yang unpredictable hingga banyak menimbulkan masalah mengenai waktu deadline. Selain itu kesempatan ngobrol intens dengan Pidi Baiq disela-sela acara juga jadi hal menarik. Semoga acara semacam ini bisa secara rutin diselenggarakan. Tentu saja dengan topik yang jauh lebih ok!.
Pada beberapa tugas mata kuliah tipografi, ketika para mahasiswa bereksplorasi membuat sebuah media (seperti bulletin, booklet) seringkali saya menjumpai banyaknya font yang digunakan didalamnya. Yang pada sesi approval juga penilaian, sayaseperti disodorkan analogi font oleh mereka. Bagaimana tidak, dalam media-media tsb semua elemen lay-out ingin “berbicara” dengan bahasanya masing-masing. Headline dengan bahasa sans serif Helvetica-nya, Subhead dengan italic Futura-nya, Bodycopy dengan Book Antiqua-nya, blm lagi Drop Cap, Header-Footer ,Quote dsb. Media tsb akhirnya menjadi semacam pasar karena elemen lay-out terlalu ramai oleh pesan yang dibawa oleh tipografinya. Tidak fokus dan ini riskan terhadap tersampaikannya pesan yang dibawa.
Bila kita seringkali menggunakan banyak fonts pada satu desain yang kita buat, sedari sekarang mulailah menggunakan seminimal & efektif jumlah font-nya. Gunakan maksimal setidaknya 3 jenis font- typeface pada satu desain kita. Selain meminimalisir masalah teknis pada file desain kita (embed font) , dengan cara itu kita telah mengupayakan agar desain kita juga menjadi lebih legible, readeble dan tentu saja komunikatif. Seperti slogan tenar yang sering didengungkan di kalangan desainer grafis : KISS “Keep It Simple Stupid”.
Pernahkah anda perhitungkan berapa banyak waktu & tenaga yang terporsir untuk memilih font pada komputer saat kita membuat sebuah desain? Aktifitas ini nyaris selalu membutuhkan porsi waktu dan tenaga yang banyak. Hal ini sering disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan arahan yang kita punya saat memilih beberapa alterntif font dari banyaknya jumlah font yang kita punya.
Saran pertama saya adalah, cobalah belajar memahami lagi beberapa karakter (& hafal juga beberapa nama) font (light-regular-bold, condensed-extended dsb). Sehingga saat satu waktu kita menggarap sebuah desain & telah mengerti kebutuhan karakter font-nya, dengan cepat kita akan mendapatkan font-nya! Yang kedua adalah cek lagi jumlah font yang kita simpan pada drive komputer kita (rata-rata desainer yang saya kenal memiliki jumlah lebih dari 1000 font pada komputer mereka). Ada banyak sekali font yang pada dasarnya memiliki bentuk dan spesifikasi yang sama dengan nama yang berbeda. Ini biasanya terjadi bila font tsb lisensinya dimiliki oleh beberapa perusahaaan. Garamond misalnya, font ini memiliki beberapa versi nama seperti ITC Garamond, Adobe Garamond, Garamond Normal dsb. Beberapa jenis fonts tenar pun kalau mau kita perhatikan memiliki bentuk & proporsi yang nyaris sama, misal Humanst521 dengan Gill Sans, Arial & Helvetica dsb. Plis, rampingkan saja jumlahnya. Kita bisa mulai dengan mengidentifikasi karakternya. Setelah itu catat fonts2 yang memiliki bentuk/spesifikasi sama dan hapus salah satunya!
Aktifitas ini pada dasarnya memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Beberapa waktu lalu pun saya menghabiskan lebih dari 4 jam untuk menghapus lebih dari 300 font similiar yang ada pada komputer saya. Tapi sekali lagi itu jauh lebih baik daripada setiap kali mengerjakan desain, stamina & waktu kita dikuras oleh aktifitas memilih banyaknya fonts. Software2 seperti Bitstream Font Navigator, Font View, Font Lister dsb bisa membantu mengerjakan aktifitas ini. Lebih jauh, kalo kita tidak terbiasa me-manage apa yang kita punya sebagai perangkat kreatif yang efektif kita hanya akan memubazirkan semuanya. Selamat Mencoba!
Seringkali saya bertemu dengan orang dan menanyakan apa pekerjaan saya. Setelah dijelaskan, kebanyakan dari mereka akan berkomentar “Oh, desainer grafis! Itu yang kerjaannya tukang gambar yha..?”. Hmm…Model jawaban seperti ini memang tidak sepenuhnya salah, tapi nyaris selalu membuat saya miris hati.
Entah apa yang menyebabkan, profesi desainer grafis selalu diidentikkan oleh masyarakat kita dengan aktifitas teknis eksekusi visual saja (menggambar atau duduk berjam-jam didepan komputer). Jangan-jangan paradigma semacam ini diciptakan oleh para pelakunya sendiri yang “memenjarakan” dirinya pada aktifitas tsb saja. Hingga tak mengherankan, sekilas pada permahamannya masyarakat awam akan semakin sulit membedakan antara desainer grafis (yang branded) dengan tukang setting/operator komputer (yang juga punya brand sebagai desainer). Kondisi ini diperparah dengan maraknya kursus-kursus yang mengatasnamakan desain grafis, tapi pada kenyataannya hanya mengajarkan ketrampilan software komputer.
Tentu saja, masalah pemahaman ini, menjadi PR bagi para desainer kalau tak mau mendapat persepsi yang sama dengan apa yang pernah saya terima. Salah satunya mungkin lewat edukasi, sharing dsb kepada masyarakat. Lewat tulisan (seperti diblog ini ^_^ ), obrolan sore atau kalo perlu ceramah rutin di kelurahan (hehe!). Karena bagaimanapun desainer adalah “spesies” yang juga hidup ditengah masyarakat. Kita bisa antarkan lewat contoh ringan seperti bagaimana efek desain undangan kumpul warga di kelurahan mempengaruhi jumlah kehadiran dll. Akhirnya lewat upaya ini masyarakat akan tahu kalo desainer adalah “dokter” problem solver terhadap masalah komunikasi yang ada disekitar mereka lewat bentukan visual sebagai bahasanya.
Yang patut dicatat adalah bahwa upaya edukasi dengan cara apapun (seperti misalnya contoh diatas) tak akan berhasil bila kita (desainer) tidak memulainya lewat penanaman pola pikir – passion yang kuat pada diri kita tentang siapakah kita sebenarnya.
Sedikit keluar dari “pattern” buku2 manajemen pada umumnya, desain cover buku ini diharapkan punya power lebih untuk besaing lebih diantar buku-buku lain dideretan rak. Bernuansa etnik dengan pemilihan tipografi yang sedikit tribal.
Clien : Salamadani Work in Want to Know! Graphic Studio (2008)
Sebuah buku “How to” - manajemen yang ditulis oleh seorang mantan pemain basket terkenal NBA Percy Miller yang saat ini menjadi seorang milyuner Amerika Serikat. Desain cover diatas diadaptasi dari kultur hip-hop yang lekat dengan kehidupan penulisnya.
Sebuah novel “mendebarkan” yang diangkat dari kisah nyata catatan seorang jurnalis India bernama Shadanand Dhume yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2002 saat terjadi Bom Bali.
Client : Ufuk Publishing Work in NLG Studio (2008)
Seringkali, dalam proses awal ketika kita mengerjakan sebuah project desain, kita dihadapkan pada masalah mandeknya ide. Masalah menjadi lebih besar, manakala tenggat waktu (deadline) pengerjaanya telah mepet sedangkan kita tetap dihadapkan pada kondisi yang sama. Disaat inilah kita membutuhkan semacam solusi untuk menghasilkan banyak ide dengan cara secepatnya.
Salah satu solusi efektif menghadapi masalah tsb adalah melalui brainstorming. Pada dasarnya, brainstorming merupakan sebuah metode kreatif untuk mencari ide-ide/strategi yang baru dan kreatif untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan membentuk suatu kelompok bicara. Istilah ini juga sering disinonimkan dengan istilah “curah pendapat” atau “temu pikir”.
Cara sederhananya adalah kumpulkan beberapa orang teman/kenalan anda pada satu waktu & tempat yang cukup kondusif. Pada orang-orang tsb uraikan masalah & tujuan diadakan brainstorming serta sasaran2 yang akan dicapai. Sesi ini akan lebih baik bila dilakukan beberapa waktu sebelum brainstorming dimulai dengan membagikan handout-nya, sehingga para peserta telah memiliki persiapan sebelumnya, gak kaget!. Dan lewat cara ini memungkinkan para peserta untuk mencari referensi tambahan. Setelah semua siap, mulailah tahap introduce/persiapan. Sesi ini dapat diisi dengan pengajuan pertanyaan2 mengenai masalah pada project yang ditangani. Misalnya "Menurut anda desain lama kemasan obat ini menyerupai kemasan apa yha?"
Lewat cara diatas, masalah bisa lebih diidentifikasikan. Setelah itu mulailah masuk pada sesi pencarian ide. Moderator mengupayakan agar semua peserta dapat aktif ambil bagian. Ketika sesi pengungkapan gagasan dalam brainstorming berjalan, catat atau rekamlah semua gagasan yang muncul. Jangan mengecualikan sebuah gagasan tertentu. Sesepele apapun idenya. Catatlah semua gagasan yang muncul. Ingat, bahwa salah satu prinsip brainstorming adalah dilarang saling mengkritik/debat sebuah ide. Setelah semua ide masuk & terdokumentasikan masuklah apada sesi kritis penyeleksian & penajaman ide. Penyeleksian ide dapat didasarkan pada konteks & tujuan. Disesi inilah forum diberi kesempatan untuk lebih intens mengkritisi ide2 yang ada.
Setelah itu..kita akan menemukan beberapa data yang kemungkinan bisa jadi pangkal sentral idenya. atau malah lebih spesifik sebagai ide itu sendiri. Jika begitu, berbahagialah karenanya..Jika tidak, mungkin kita harus mengevaluasi ulang penyelenggaraan brainstorming kita. Semangat..
Ketika sesi brainstorming telah berakhir, ciptakanlah suasana yang menyenangkan dan berkesan bagi seluruh peserta yang hadir. Sangat disarankan untuk membangun suasana ini sedari awal proses brainstorming. Sediakan makanan, perdengarkan musik atau lainnya bisa jadi salah satu caranya. Harus ditekankan bahwa brainstorming bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan masalah kemandekan ide. Ada begitu banyak cara lain yang bisa diberdayakan. Tapi semoga artikel ini bisa menambah pengetahuan kita. Selamat mencoba, semoga berguna!.
Buat temen-temen yang butuh beberapa referensi atau sumber berkaitan dengan peristilahan dalam dunia desain grafis, beberapa waktu lalu saya "menemukan" sebuah situs yang bernama www.graphicdesigndictionary.com.
Meski "dibalut" dengan desain yang cenderung bernuansa medikal (begitu menurut saya..), namun pada dasarnya situs ini memiliki interface yang simple sehingga memudahkan pencarian kata/istilah didalamnya (& gratis!). Situs ini juga menyediakan "space" terbuka bagi pengunjung yang ingin berpartisipasi memberikan tambahan data mengenai peristilahan atau juga mengeditnya (seperti yang disediakan Wikipedia). So, selamat menyusuri & semoga bermanfaat.
Desember 2007 adalah awal saya merasa tertarik untuk mulai mengumpulkan label-label makanan ringan (lokal) yang sering saya jumpai di jalan. Ketertarikan saya dimulai saat memperhatikan seorang teman yang memiliki kebiasaan mengumpulkan label makanan dari makan ringan yang dikonsumsinya untuk dibawa pulang dan menyelipkan pada buku catatannya sebagai bagian dari atribut diary-nya.
Dari situ saya mulai rajin berburu baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Caranya, jika suatu saat saya ke warung (dimanapun) dan melihat ada makanan ringan yang "asing" dan labelnya belum saya miliki, saya akan membeli makanan ringan tsb. Meski saya tak tahu apa rasa makanan tsb. Layaknya kegiatan jajan yang dilakukan anak kecil.Menurut saya, ada hal menarik dan bernilai dari sebungkus makanan ringan, lebih dari sekadar untuk dikonsumsi. Pada makanan-makanan tsb (kerupuk, krpik, dodol, roti dll) yang meski harganya murah saya menemukan pola pemikiran dan kreativitas desain komunikasi visual dari para pengelola industri makanan ringan rumahan. Pola-pola itu tercermin lewat gaya khas tipografi, lay-out-komposisi, warna sampai dengan teknik produksinya. Perhatikan, meski jenisnya beragam, namun satu sama lainnya memiliki gaya yang cenderung similiar.
Hal tersebut diatas tentunya tak lepas dari banyak aspek. Aspek-aspek tsb antaralain aspek antropologi, sosiologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat (baik konsumen maupun produsen) makan ringan. Saya pikir, banyak hal yang masih bisa digali terlepas dari fungsi pragmatisnya label-label tsb (sebagai identitas perusahaan & informasi harga/komposis makanan). Label-label tersebut layaknya "artefak" yang mencerminkan kultur visual lokal sesungguhnya masyarakat kita.
Book designers, Sometimes a lecturer, like blues, retro & propaganda design, drinking coffee, watching manchester united, books, philosophy & cat is lonely and wants friends worship well.